Korelasi Antara Kebudayaan Suku Dani dengan Ilmu Psikologi




Indonesia merupakan negara multikultural, beraneka ragam suku, budaya dan adat istiadat. Saya setuju dengan pernyataan tersebut. Maka dalam esai ini saya akan menjelaskan hubungan antara Ilmu Budaya Dasar dengan Ilmu Psikologi. Tentu saya juga memberikan contoh yang diambil dari salah satu kebudayaan di Indonesia.

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (‘budi atau akal’) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi, dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu ‘mengolah’ atau ‘mengerjakan’. Jadi, budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi, yang tentunya bersifat unik atau memiliki ke-khasan yang harus dilestarikan.

Istilah Ilmu Budaya Dasar dikembangkan di Indonesia sebagai pengganti dari istilah Basic Humanitiesm yang berasal dari bahasa Inggris The Humanities. Istilah Humanities ini berasal dari bahasa Latin yaitu humanus yang bisa diartikan ‘manusia, berbudaya, dan halus’. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa the humanities berkaitan dengan nilai-nilai, yaitu nilai-nilai manusia sebagai homo humanus atau manusia berbudaya.

Secara etimologis psikologi berasal dari bahasa Yunani: psyche dan logos. psyche artinya ‘jiwa’ dan logos berarti ‘ilmu’. Dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan “Ilmu Jiwa”. Secara terminologi (menurut istilah pengetahuannya) psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang segala hal yang berhubungan dengan jiwa, hakekatnya, asal usulnya, proses bekerjanya dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Namun penggunaan kata “jiwa” dipandang terlalu abstrak, maka kata tersebut diganti dengan “perilaku”. Jadi, psikologi dapat diartikan pula dengan “Ilmu yang mempelajari prilaku manusia atau tingkah laku manusia”

Pada awal perkembangannya, ilmu psikologi tidak menaruh perhatian terhadap budaya. Baru sesudah tahun 50-an budaya memperoleh perhatian. Namun baru pada tahun 70-an ke atas budaya benar-benar memperoleh perhatian. Pada saat ini diyakini bahwa budaya memainkan peranan penting dalam aspek psikologis manusia. Oleh karena itu pengembangan ilmu psikologi yang mengabaikan faktor budaya dipertanyakan kebermaknaannya. Triandis (2002) misalnya, menegaskan bahwa psikologi sosial hanya dapat bermakna apabila dilakukan lintas budaya. Hal tersebut juga berlaku bagi cabang-cabang ilmu psikologi lainnya. Triandis (1994) membuat kerangka sederhana bagaimana hubungan antara budaya dan perilaku social.

Ekologi - budaya - sosialisasi - kepribadian – perilaku

Sementara itu Berry, Segall, Dasen, & Poortinga (1999) mengembangkan sebuah kerangka untuk memahami bagaimana sebuah perilaku dan keadaan psikologis terbentuk dalam keadaan yang berbeda-beda antar budaya. Kondisi ekologi yang terdiri dari lingkungan fisik, kondisi geografis, iklim, serta flora dan fauna, bersama-sama dengan kondisi lingkungan sosialpolitk,  adaptasi biologis dan adaptasi social merupakan dasar bagi terbentuknya perilaku dan karakter psikologis. Ketiga hal tersebut kemudian akan melahirkan pengaruh ekologi, genetika, transmisi budaya dan pembelajaran budaya, yang bersama-sama akan melahirkan suatu perilaku dan karakter psikologis tertentu.

Berikut adalah latar belakang IBD dalam konteks budaya dan masyarakat Indonesia berkaitan dengan permasalahan:
  • Kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dengan segala keanekaragaman budaya yang tercermin dalam berbagai aspek kebudayaannya, yang biasanya tidak lepas dari ikatan primordial, kesukuan, dan kedaerahan. 
  • Proses pembangunan yang sedang berlangsung dan terus menerus menimbulkan dampak positif dan negatif berupa terjadinya perubahan dan pergeseran sistem nilai budaya sehingga sendirinya mental manusiapun terkena pengaruhnya. Akibat lebih jauh dari pembenturan nilai budaya ini ialah timbulnya konflik dalam kehidupan.



Contoh konkretnya yaitu tradisi Iki Palek. Menurut pandangan Neale (1985) tentang kedukaan sebagai suatu kehilangan dan merupakan suatu proses peralihan dari situasi terkejut dan ketidakmampuan melupakan masa lalu menuju ke situasi sedih yang sangat dalam atas peristiwa kehilangan itu, kemudian berusaha memanfaatkan apa yang berharga sebagai dasar bagi pola hubungan baru yang berguna. Dilihat dari proses dukacita masyarakat suku Dani menggambarkan kedukaan sebagai proses peralihan dari tahap terkejut tidak dapat menerima kenyataan dan merasakan kesedihan yang sangat dalam sampai mencapai sebuah keseimbangan yang baru.

Seseorang dari masyarakat suku Dani bersedia memotong sebagian dari keempat jarinya disebabkan oleh rasa duka yang lahir dari perasaan afeksi yang mendalam yang terjalin selama hidup. Sebegitu dalamnya perasaan cinta yang terjalin membuat mereka sanggup melukai diri mereka sendiri secara fisik. Hal ini sebagai representasi kesedihan ati yang amat dalam bagi seorang Dani.

Ritual Iki Palek dalam makna sesungguhnya ialah sebuah ritus penghayatan atas nilai relasi yang sangat dalam antara satu manusia dengan manusia lainnya dalam kehidupan bermasyarakat suku Dani. Ritual Iki Palek ialah ritual dukacita yang diturunkan sejak nenek moyang sampai sekarang dan masih terus dilakukan oleh masyarakat suku Dani.

Ritual Iki Palek merupakan dampak dari pengaruh budaya warisan leluhur yang dianut masyarakat suku Dani sebagai sebuah penghormatan terhadap leluhur dan ungkapan rasa solidaritas yang sangat tinggi atas kematian orang terkasih dalam keluarga yang direalisasikan dalam bentuk hutang adat. Jari dan daun telinga dijadikan simbol utama dalam ritual Iki Palek memiliki makna nilai berbagi dan nilai relasi yang tak terputus sampai selamanya terhadap orang yang dianggap terkasih dan tercinta.

Nilai relasi yang dijunjung tinggi oleh suku Dani ini menjadi cikal bakal ritual ini dilakukan semenjak nenek moyang orang Dani. Studi indigenous psychology yang dilakukan di Korea (Park & Kim, 2004) menyebutkan bahwa konsepsi tentang masa lalu dan masa depan memiliki dasar relasional. Nenek moyang merepresentasikan masa lalu, dan anak-anak merepresentasikan masa depan.

Maka jika kita melihat hal yang menurut kita tidak biasa atau tidak normal (abnormal), sebaiknya jangan terburu-buru menilainya dengan konsep psikologi. Lakukanlah komunikasi antar keluarga, pergaulan dengan teman dan sesama, agar kita dapat mengetahui maksud dan tujuan mereka melakukan hal tersebut. Karena sangat penting untuk dapat memahami budaya, sifat dan karakter setiap individu/kelompok. Kondisi sosial-politk, adaptasi biologis, dan adaptasi kultural merupakan dasar bagi terbentuknya perilaku dan karakter psikologis.

                            



Comments

Popular Posts